Judul 1: Sulitnya
Mencintai Diri Sendiri Akibat Komentar Masyarakat
Judul 2: Basa-Basi yang Bisa Menyebabkan Depresi
(Tangerang,
September 2019) “I Want to Die but I Want
to Eat Tteokpokki adalah esai yang unik.” Demikianlah pujian dr. Jiemi
Ardian Sp.KJ terhadap sebuah esai laris terjemahan dari bahasa Korea yang akan
diterbitkan Penerbit Haru pada bulan Oktober 2019 nanti.
Membaca novel ini,
pembaca akan dibawa untuk mengarungi perjalanan Baek Se Hee, sang penulis,
bersama psikiaternya untuk mengatasi persistent
depressive disorder (distimia) yang diderita oleh penulis tersebut.
Distimia adalah sebuah depresi yang terus-menerus terjadi dalam jangka yang
sangat panjang.
Bicara mengenai
depresi, beberapa waktu yang lalu media sosial sempat ribut membahas mengenai
“kapan nikah” dan “kok kamu gemukan”. Kerap kali komentar seperti itu kita
dengar dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat berkumpul dengan keluarga
besar, sowan kepada tetangga atau teman-teman orang tua, atau bahkan bersama
teman. Sebagian besar orang menganggap bahwa pertanyaan itu adalah basa-basi
atau candaan belaka.
Akan tetapi,
basa-basi terhadap seseorang tersebut bisa menjadi mata pisau yang tajam. Bagi
seseorang, basa-basi tersebut bisa ditangkap sebagai sebuah komentar atau
penilaian yang akhirnya menciptakan pola pikir negatif sehingga mengikis rasa
percaya diri/harga diri orang tersebut. Coopersmith (dalam Prasetyo, 1994)
menyatakan pendapat bahwa harga diri itu mengarah pada evaluasi diri yang
dirancang dan dilakukan individu dari interaksi dengan lingkungan dan
perlakukan orang lain terhadap dirinya. Fenomena basa-basi pasif agresif tersebut
bisa menjadi awal mula terjadinya depresi, yang jika tidak segera ditangani
akan membuat depresi menjadi kronis.
Dalam buku I
Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki yang pernah dibaca RM (leader grup K-Pop BTS) ini, Baek Se Hee
pun membagikan pengalamannya ketika mengalami krisis kepercayaan diri sampai
tidak mampu mencintai dirinya yang disebabkan oleh komentar dari teman-temannya
terhadap penampilan dan citra tubuhnya. Ia menjadi mudah putus asa, tidak
percaya diri ketika bertemu orang lain, bahkan berpikiran untuk bunuh diri.
Menceritakan secara lugas pengalaman terapi penulis
dengan psikiaternya, I Want to Die but I
Want to Eat Tteokpokki memberikan sebuah gambaran mengenai kegiatan
konseling yang dilakukan oleh seorang pasien dengan seorang psikiater atau
psikolog. Meski buku ini penuh dengan kisah pribadi, penulis
memasukkan opini dari psikiaternya yang mengajaknya menemukan akar permasalahan
dan bergerak ke arah yang lebih sehat. Apabila luka di hati tidak lagi
disepelekan dan kesadaran mengenai kesehatan jiwa meningkat, diharapkan
orang-orang bisa berani mengambil langkah untuk menolong diri sendiri, termasuk
mencari bantuan ke psikiater atau psikolog.
“Orang-orang
begitu sensitif terhadap luka di tubuh, tetapi kurang peka dan cenderung
menyepelekan luka dalam hati,” tandas Baek Se Hee dalam sebuah wawancara.
Dibaca
oleh lebih dari 400.000 orang
(data Juni
2019)
dan berada dalam jajaran buku terlaris Korea Selatan, esai yang versi bahasa Indonesianya
akan diterbitkan Penerbit Haru ini menyuarakan isi hati setiap orang yang
merasa baik-baik saja di luar, tapi memiliki luka di dalam hatinya.
Baek Se Hee berharap, orang-orang yang
sedang terpuruk dan mengalami kisah serupa dengannya, tahu bahwa mereka tidak
sendirian dan bisa terhibur dengan hal-hal kecil setiap hari. Ia juga
berharap dengan adanya buku ini, orang tidak lagi takut dan terjebak stigma
negatif untuk merngunjungi psikiater mencari bantuan.
Sumber:
https://www.sisain.co.kr/?mod=news&act=articleView&idxno=33653
http://www.ccdn.co.kr/news/articleView.html?idxno=560232#09SX
http://etheses.uin-malang.ac.id/2157/6/08410173_Bab_2.pdf
Prasetyo,
B. D. Antonius. (1994). Hubungan Antara
Self-Esteem dan Tipe Kepribadian A dengan Kecenderungan Depresi pada Remaja
Putri. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijaranata.
Santrock,
John W. (2003). Adolescene. Perkembangan
Remaja. Jakarta: Erlangga.